
Jakarta (Samudranesia) – Pelaut di Indonesia kerap dihadapkan pada berbagai masalah terkait profesinya. Kompleksnya permasalahan pelaut Indonesia tersebut semestinya membuat kesadaran pelaut untuk bergabung menjadi anggota serikat pekerja atau membentuk serikat pekerja di tiap-tiap provinsi. Hal tersebut harus terbangun dari kesadaran seorang individu pelaut di tengah banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh pelaut.
“Mari Gerakan Pelaut Indonesia sadar berserikat, karena dengan berserikat, pelaut akan bermartabat,” ucap Ketua Bidang Advokasi, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI) Imam Syafi’i dalam keterangannya kepada Samudranesia, Kamis (26/3).
Baca Juga:
- Sibuk Berlayar dan Ikut Diklat, Pelaut Indonesia Lupa Berserikat
- PPI Sampaikan Materi Pentingnya Berserikat bagi PMI pada Perkuliahan Mahasiswa FISIP UI
- PPI: Pemerintah Senang Melihat Penderitaan Pelaut Indonesia
Imam juga mengungkapkan bahwa pelaut merupakan profesi yang wajib memiliki keahlian dan keterampilan khusus sesuai standar internasional dalam bentuk Certificate of Competency (COC) dan Certificate of Proficiency (COP). COC/COP itu harus sesuai dengan standar IMO (International Maritime Organization) sehingga pekerjaan sebagai pelaut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan yang ada di darat.
“Pelaut punya aktivitas pekerjaan di kapal bukan di pabrik atau perkantoran, khususnya di lokal (perairan dalam negeri) maka tidaklah tepat jika harus menerima upah berdasarkan ketentuan UMP/UMK yang lazim diterapkan pada pengupahan pekerja/buruh pada umumnya (darat),” ujar Imam.
Menurutnya, sistem UMP/UMK banyak dijadikan untuk kaum pengusaha pelayaran berlindung dan mencari keuntungan. Misalnya, domisili perusahaan berada di Jakarta, sementara kapal beroperasi di Tegal (Jateng), maka tidak sedikit pengusaha yang memberikam gaji pelautnya mengacu pada ketentuan UMP Jateng/UMK Tegal (yang lebih rendah dari UMP DKI Jakarta).
“Dan parahnya dengan gaji rendah tersebut, Perjanjian Kerja Laut/PKL-nya pun di-approval oleh Kesyahbandaran setempat tanpa melihat domisili perusahaan di mana dan berapa ketentuan UMP/UMK provinsi/kabupaten/kota tersebut,” tegasnya.
Imam melihat bahwa kebiasaan yang salah tersebut terus mengakar hingga menjadikan kebiasaan itu suatu pembenaran.
“Mirisnya, hal tersebut terjadi pembiaran dan tanpa perlawanan dari para pelautnya. Padahal salah satu cara untuk melawan praktik-praktik tersebut, adalah dengan berserikat. Tetapi sayangnya, pelaut belum sadar betul apa tujuan, fungsi, hak dan kewajiban dari serikat pekerja,” jelasnya.
Hal itu terbukti dengan pelaut lebih memilih dengan membentuk komunitas, paguyuban, perkumpulan, dan lain sebagainya yang menurutnya sangat terbatas gerak perjuangannya. Beda dengan serikat yang mampu membawa pengusaha ke pengadilan hubungan industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri (PN) setempat ketika pengusaha melanggar ketentuan ketenagakerjaan pelaut.
“Memang UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memperbolehkan pelaut selaku pekerja dan/atau anggota keluarganya misal pelaut meninggal untuk mengajukan gugatan terhadap pengusaha ke PHI pada PN setempat,” bebernya.
Tetapi hal itu lebih bagus dilakukan oleh Pengurus Serikat, mengingat kekurangpahaman pelaut terhadap mekanisme gugat menggugat di ranah perdata khusus yang tentunya harus melalui tahapan bipartit dan tripartit serta pekerjaan di kapal yang harus tetap dilakukan agar dapur di rumah tetap ngebul,” seloroh Imam mengakhir. (Tyo)
Article Link : http://samudranesia.id/pelaut-indonesia-hadapi-kompleksitas-masalah/